Semua orang senang
dengan yang namanya harta, tak terkecuali, siapa pun dia. Allah
menghadirkan rasa senang pada manusia terhadap harta, dalam semua bentuknya.
Allah menyatakan,
“Dijadikan
terasa indah dalam pandangan manusia, kecintaan terhadap apa yang diinginkan,
berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk
emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan
hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik” (Ali Imran:14).
Pemilik mutlak harta
adalah Allah swt. Dialah, Allah, Dzat yang maha kaya (Al-Ghaniy), semua yang
ada di alam semesta ini adalah milik Allah swt. Dan semuanya akan kembali
kepada Allah. Sebagai pemilik mutlak, Allahlah yang berhak untuk mengatur harta
itu harus digunakan untuk apa saja. Adapun manusia, kepemilikannya hanyalah
titipan dari Allah. Kapan pun pemilik akan mengambilnya, manusia selaku pihak
yang dititipi harus ridha untuk menyerahkannya.Dengan menyadari hal ini,
seorang mukmin akan senantiasa menjaga harta titipan Allah dengan
sebaik-baiknya, tidak digunakan kecuali atas izin dan arahan Allah sebagai
pemilik. Sangat tidak pantas manakala seseorang menggunakan harta tanpa sejalan
dengan keinginan pemiliknya.
Harta yang ada pada
manusia, statusnya antara lain adalah sebagai : titipan Allah, sebagai
perhiasan hidup, sebagai ujian keimanan, bekal untuk beribadah, dan kenikmatan
yang harus disyukuri.
Layaknya seseorang yang
menitipkan sesuatu, pasti dia berharap barang titipannya akan dijaga dengan
sebaik-baiknya, dan dia pasti percaya pada orang yang dititipi. Kepercayaan
yang telah diberikan, jangan sampai dikhianati, yang membuat kemurkaan orang
yang menitipkan. Pada sisi yang lain, harta itu juga merupakan perhiasan hidup
di dunia. Semua perhiasan akan membuat seseorang yang memakainya akan kelihatan
lebih indah, lebih cantik atau lebih ganteng.
Demikian juga dengan
harta, keberadaannya boleh jadi akan membuat seseorang kelihatan lebih “
indah”. Namun harus dipahami bahwa yang namanya perhiasan itu akan terlihat
indah manakala dikenakan secara seimbang dan proporsional, sesuai kewajaran dan
kebutuhan. Jika berlebihan, maka keindahan itu akan menjadi hilang. Maka
seseorang boleh bersenang senang dan berhias dengan harta bendanya di dunia,
tapi tidak boleh berlebihan, dan membuatnya lalai dari mengingat pemilik harta
yang sesungguhnya, yakni Allah swt.
Harta juga merupakan
ujian keimanan bagi seseorang. Wa’lamuu annamaa amwaalukum wa
aulaadukum fitnah (Al-Anfal 28). Dan ketahuilah, hartamu dan
anak-anakmu hanyalah sebagai cobaan bagimu, dan di sisi Allah ada pahala yang
besar. Sejauh mana harta titipan Allah yang ada padanya, membuat dirinya makin
dekat dan beriman kepada Allah swt, atau justru malah menjauhkannya dari
keimanan dan ketaatan kepadanya. Kisah yang Allah ungkap dalam Al-Quran, di
antaranya adalah kisah tentang kepemilikan harta yag justru telah membuat Qarun
menjadi semakin jauh dari keimanan dan ketaatan, hingga akhirnya Allah swt
membenamkan seluruh kekayaan Qarun ke dalam perut bumi. Manusia pada zaman
sekarang, sering berseloroh telah menemukan harta karun, manakala mendapatkan
harta dari perut bumi. Itulah kesudahan Qarun, harta telah membuatnya jauh dari
Allah.
Kisah Tsa’labah yang
hidup di zaman Rasulullah Muhammad saw, juga menjadi pelajaran bagi kita agar
terus bersyukur dan mengelola harta sesuai kehendak Allah, tidak membuat lalai
dari ibadah. Ternak Tsa’labah yang banyak da terus bertambah, sempat membuat
jauh dari kebiasaan shalat jamaah di masjid yang selama ini telah menjadi
kebiasaannya.
Selain kisah tersebut,
ada juga kisah tentang kepemilikan harta yang menjadikan dirinya tetap taat dan
dekat serta meningkatkan keimanannya kepada Allah swt. Misalnya kita bisa
mendapatkan kisah tentang kesuksesan nabi Sulaiman dalam mengelola kekuasaan
dan harta kekayaan yang berlimpah dalam bentuk istana megah dan lainnya. Semua
harta dan kekuasaan tersebut tidak melenakannya, justru malah membuat nabi Sulaiman
semakin giat dalam menjalankan perintah dakwah dari Allah. Hal ini tergambar
dalam usahanya untuk mengajak Ratu Bilqis dari kerajaan Saba untuk beriman
kepada Allah swt.
Harta juga merupakan
bekal agar manusia dapat beribadah dengan sebaik-baiknya.
“Wajaahiduu
biamwaalikum wa anfusikum fie sabiilillah“ dan berjihadlah di jalan Allah
dengan harta dan jiwamu.
Seluruh ibadah yang
Allah perintahkan kepada kita, dalam kadar tertentu dan berbeda-beda,
membutuhkan bekal materi/harta. Yang jelas-jelas terlihat membutuhkan bekal
atau modal harta, misalnya menunaikan ibadah haji, berperang atau berjihad di
jalan Allah membutuhkan perbekalan kendaraan transportasi perang, persenjataan
dan perbekalan makanan dan obat-obatan. Demikian juga dengan pelaksana zakat. Hal
ini jelas berkaiatan dengan kebutuhan untuk memiliki harta, sebagai bekal
ibadah. Shalat yang kita lakukan, sesungguhnya juga membutuhkan modal harta,
meski dalam jumlah yang tidak sebanyak untuk menunaikan ibadah haji. Untuk bisa
melaksanakan shalat dengan baik dan sempurna serta khusyu, kita harus memiliki
pakaian dan atau mukena yang dapat menutup aurat dengan sempurna, demikian juga
dengan kondisi tubuh yang sehat dan kuat, insya Allah bisa shalat dengan
husyuk. Untuk bisa sehat kita membutuhkan makanan yang bergizi, yang berarti
kita membutuhkan harta.
Dengan adanya harta,
Allah swt juga memerintahkan kepada kita untuk bisa mensyukuri nikmatnya. Allah
ingin melihat siapa di antara hamba-Nya yang mampu mensyukuri nikmatnya. Maka
Allah akan melimpahkan tambahan kenikmatan padanya. Syukur adalah amalan yang
sangat besar. Dan hanya sedikit di antara hamba yang mampu bersyukur.
Kepemilikan harta bagi
seseorang, dapat diperoleh melalui berbagai jalan, yaitu melalui usaha,
bekerja, maisyah, melalui pewarisan atau mendapatkan harta waris, melalui
hibah/pemberian, dan bisa juga kepemilikan tersebut. Allah swt memerintahkan
hambanya untuk bekerja atau berikhtiar mencari penghidupan, menjemput rezki
Allah swt. Dalam kerja dan ikhtiar ini ada pahala yang Allah sediakan, apalagi
bagi seorang suami, kepala keluarga, kewajiban memberikan nafkah untuk istri
dan anak-anaknya, mengharuskannya untuk ikhtiar menjemput rezki dengan
sebaik-baiknya, dan dia akan berdosa jika tidak melakukannya. Namun satu hal
yang harus kita sadari dan pahami adalah, harta dan rezki yang berikan kepada
hamba-Nya, tidak selalu berbanding lurus dengan kerja keras yang telah
dilakukannya. Tetapi sunnatullah memang tetap berlaku, man jadda wajadda, siapa
yang bersungguh-sungguh, dia akan mendapatkan. Perlu dipahami, bahwa ada
karunia Allah yang datang tanpa diduga, dan tidak terkait dengan kerja
seseorang.
Sebagian ulama kemudian
membedakan istilahnya. Ada istilah kasab, yakni
harta yang didapat seseorang yang sejalan dengan kerja dengan ikhtiarnya,
misalnya seorang pegawai setiap bulan akan mendapatkan gaji, ini menjadi kasab,
dan ada istilah rezki, adalah harta yang
diperoleh seseorang tidak terkait dengan pekerjaannya, dan tidak terduga-duga
datangnya. Demikianlah seorang mukmin semestinya dapat memandang dan
menggunakan harta sesuai perintah pemilik aslinya , Allah swt. Semoga
kesenangan akan kita dapatkan, bukan hanya di dunia , tapi juga kesenangan dan
kebahagiaan di akhirat.